Pages

Monday, May 18, 2015

Ethnic runaway to Baduy Luar #Part 1


Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, akhirnya ada kesempatan untuk menulis kembali. Seperti yang dijanjikan waktu lalu, saya akan menulis dengan konten yang lebih panjang. Dan kali ini, saya ingin berbagi sepotong cerita atau pengalaman yang saya lalui dalam hidup yang penuh lika liku ini *halah, abaikan

Saat masih sekolah, saya beberapa kali pernah lihat seseorang dengan pakaian hitam dan ikat kepala serta tanpa menggunakan alas kaki. Kata orang-orang sih, mereka itu adalah orang Baduy. Saat kuliah, ada kenalan yang bersama teman-temannya pergi mengunjungi Suku Baduy. Masih saat kuliah juga, saya termasuk penonton setia acara Ethnic Runaway di Trans TV. Karena hal-hal tersebut, sempat dalam hati saya bergumam ingin bisa pergi kesana, melihat secara langsung kehidupan masyarakat Suku Baduy. Namanya juga hanya berupa keinginan dalam gumaman, bagaikan orang yang bilang “iiiih, pengen deh ini, pengen deh itu”, tidak ada niatan untuk mencapainya.

Namun, siapa sangka bahwa tanpa berdoa meminta dan ikhtiar sungguh-sungguh, dengan begitu baiknya Allah mewujudkannya! Saya diberi kesempatan untuk pergi kesana. Masya Allah, sempat speechless waktu itu. Bagaimana tidak?! Selama ini, meskipun beberapa kali saya tidak membuat target pencapaian, berdoa atau berikhtiar untuk mendapatkan sesuatu yang saya inginkan, tapi hanya berupa gumaman, dengan begitu baiknya Allah mewujudkannya. Lalu bagaimana jika saya benar-benar serius beroda, ikhtiar hingga demi terwujudnya itu, saya sengaja membuat target pencapaian dalam selang waktu tertentu, Allah dengan kuasaNya dan kebaikanNya pasti akan mengabulkan. Pantas saja ada yang pernah bilang, “Jika kamu tahu bagaimana Allah mengatur segalan urusan kehidupanmu, tentu hatimu akan meleleh karena cintaNya”

fabiayyi ala irobbikuma tukadziban :’)

Awal mula perginya saya kesana adalah saat awal bulan Februari kemarin, ketika dosen saya, yaitu Ibu Minsarnawati SKM M.Kes, mengajak saya menjadi partner atau tim untuk melakukan penelitian kesehatan yang in syaa Allah akan dibiayai oleh Litbangkes Kemenkes RI. Saya pun menyanggupi dan bersedia bergabung. Padahal, jarak waktu saat beliau menawarkan bergabung dan deadline pengumpulan proposal sangat dekat, kurang dari 1 bulan, meskipun pengumuman “Call for Proposal” sudah ada sejak beberapa waktu sebelumnya. Maka saya ngebut mencari tema penelitian dan mengerjakan proposal. Jujur, sempat hopeless waktu itu karena proposal yang diajukan kali ini mesti penelitian intervensi dan berbasis budaya. Susaaah banget cari lokasi yang sesuai dan terdekat dari domisili yang masih kental unsur budayanya.

Lalu tanpa disangka, beliau menyarankan untuk mengajukan proposal penelitian dengan lokasi sasaran di Suku Baduy! Shock. Speechless. Makin hopeless.

Bagaimana tidak? Melakukan penelitian yang bersifat intervensi pada kelompok masyarakat umum saja masih tergolong sulit. Sedangkan kali ini, beliau menyarankan untuk melakukan intervensi pada masyarakat Suku Baduy, yang notabene aturan-aturan adat masih dijunjung tinggi oleh mereka sehingga belum tentu intervensi yang kita lakukan dapat diterima dengan baik. Namun, beliau terus memberi semangat dan meyakinkan bahwa kami dapat melakukannya.

Singkat cerita, hingga H-3 deadline pengumpulan, proposal kami masih belum matang dan belum pernah dibahas dengan duduk bersama. Selama ini hanya via email. Menjelang malam itulah kami akhirnya berdiskusi, di Masjid Fathullah, membahas konsep final penelitian yang akan diajukan. Sayangnya, yang seharusnya final pun masih belum final karena kurangnya informasi yang kami miliki tentang masyarakat Suku Baduy. Referensi yang dimiliki tidaklah banyak. Sedangkan yang kami butuhkan adalah data-data dan informasi terkini tentang mereka. Kami harus melihat dan menanyakannya secara langsung.

Dan akhirnyaa, keputusan dadakan dibuat bahwa besok pagi kami harus pergi kesana!


Tadaaa~

Our trip’s started ! (kepanjangan yah prolognya di atas :p)


Masyarakat Suku Baduy tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Kami berangkat kesana dengan naik kerete api dari Statiun Pondok Ranji menuju Stasiun Rangkasbitung. Berbeda dengan rute-rute stasiun lainnya yang menggunakan kereta commuterline, untuk menuju Stasiun Rangkasbitung, kami hanya dapat menggunakan kereta lokal ekonomi. Kereta tersebut paling pagi yang tiba di Stasiun Pondok Ranji jam 8.44. Sayangnya kami ketinggalan kereta tersebut. Jadi kami membeli tiket kereta berikutnya yang tiba jam 10.22. Perjalanan ke Rangkasbitung sekitar 2 jam. Tiba di sana, kami dijemput oleh saudara dari Ibu Minsar, yaitu Aida (dia menikah dengan saudara sekampung dari Ibu Minsar). Rencana memang kami akan bermalam di rumah orang tuanya.







Lalu, dari stasiun, kami melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum berwarna merah menuju terminal Aweh. Jaraknya dekat, kurang dari 10 menit. Selanjutnya, kami naik mobil semacam Elf (bener ngga ya tulisannya?) yang menuju Ciboleger. Ciboleger adalah pasar sekaligus letak pintu masuk Desa Kanekes, tempat masyarakat Suku Baduy berada. Hanya saran saja, saat ingin naik mobil ini, sebaiknya tidak mencarinya di dalam terminal, tetapi di seberang luar terminal. Sebab yang di dalam terminal agak lama ngetemnya. Sedangkan yang di luar, meskipun lama juga ngetemnya, tapi ada beberapa orang yang membantu mengumpulkan penumpang sehingga mobil bisa segera berangkat.

Perjalanan dengan mobil Elf inilah yang saya rasa cukup melelahkan dan membuat perut kekocok-kocok. Medan jalan yang berliku-liku, naik turun bukit serta kondisi jalan beraspal yang rusak, membuat perjalanan terasa sangaaat lama. Sekitar 1,5-2 jam. Padahal, lamanya waktu itu hanya ditempuh hingga daerah Simpang, yaitu daerah persimpangan di mana rumah orang tua Aida tinggal. Jarak dari Simpang ke Ciboleger terbilang dekat, sekitar beberapa kilometer lagi. Jika ditempuh dengan sepeda motor, memakan waktu 30-45 menit.

Kami tiba di rumah keluarga Aida sekitar jam 2.30. Kami istirahat, solat, makan dan melanjutkan perjalanan jam 4 kurang. Kami pergi dengan dua motor. Bapak Aida membonceng Aida dan saya membonceng Ibu Minsar. Disinilah insiden berdarah itu terjadi #mencobamendramatisir

Jalan aspal dari Simpang menuju Ciboleger terbilang bagus. Naik motor sambil lihat pemandangan gunung atau bukit berjejer dan berlapis serta menghirup udara yang segeeer banget bebas polusi, rasanya aduhaaaaiiii banget. Layaknya anak motor di kota, yang ngendarain motor sering kenceng-kenceng, di sana saya juga ngendarain motor seperti itu. Padahal saya belum paham medan jalan disana seperti apa. Ketika kami melewati jalanan yang menanjak dan saat tiba di puncak tiba-tiba jalanan berubah menjadi turunan yang mana di ujung bawah sana jalanan berubah jadi bebatuan tanpa aspal, saya tidak punya cukup waktu untuk ngerem secara mulus dan tanpa sadar hanya menggunakan rem tangan. Saat tiba di bebatuan itulah ban motor belakang tergelincir dan kami jatuh ketiban motor ke arah kanan.

Saya ngga kuat ngangkat motor dan Ibu Minsar teriak minta tolong pada Bapak Aida yang sudah ada di depan dan pada orang-orang sekitar yang kebetulan lewat di sana. Saya hanya diam dengan posisi tiduran sambil mencerna apa yang terjadi. Maklum, saya jarang jatuh dari motor. Ini kali ketiga jatuh, kali pertama bonceng dosen dan kali pertama jatuh saat bonceng dosen. Shock banget. Kaca spion pecah dan patah dari gagangnya. Darah dari lulut dosen saya ngerembes tembus ke gamis luarnya. Telapak tangan kanan saya kebas, berdarah dan bengkak, susah ditekuk atau digerakkan.

Segera Bapak Aida menolong dan memegang telapak tangan saya sembari meniup-niupkannya dan bilang, “Ini ggp, ini gpp, nanti pulang diobatin.” Terlihat sekali bahwa beliau itu mengkhawatirkan saya layaknya anak sendiri. Ini karena beliau melihat wajah saya yang pucat seketika. Padahal jika beliau tahu, saat itu puncatnya saya lantaran khawatir memikirkan motor yang saya rusakin dan luka-luka pada Ibu Minsar akibat saya bonceng. Saya beberapa kali meminta maaf pada beliau. Dan jika kalian tahu bagaimana reaksi beliau…
“Seru yaaa. Begini perjuangan jauh-jauh kesini buat ke Baduy, penuh cobaan.”(jawabnya sambil tertawa)

Haduuh, si Ibu. Sampai pengen nangis denger cara beliau menghibur saya :’(

Lepas itu, kami melanjutkan perjalanan. Akhirnya saya dibonceng Bapak Aida dan Ibu Minsar dibonceng Aida. Sepanjang perjalanan tangan kiri saya terus memegang telapak tangan kanan yang tidak bisa digerakkan.

Kami tiba di pasar Ciboleger. Sempat heran saat melihat bahwa ternyata terdapat minimart disana. Sebab sepanjang perjalanan dari Simpang hingga Ciboleger, kami tidak menemukan minimart semacam ini, meskipun di sisi jalan terdapat rumah-rumah penduduk. Ditambah lokasi disini yang tergolong daerah pedalaman, cukup mengherankan ada minimart dengan warna yang cukup nyentrik di antara bangunan lainnya disini.

Kami meninggalkan motor disana dan melanjutkannya dengan berjalan kaki. Pintu masuk ke Baduy berupa tanjakan dan saya harus memapah Ibu Minsar yang jalannya terpincang-pincang karena jatuh tadi. Saat tiba di pintu masuk itulah, saya takjub melihat pemandangan di depan sana. Terdapat deretan rumah-rumah penduduk dari bambu dan tanah berupa batu-batu kali yang tersusun rapi. Terlihat tradisional sekali dan asri. Suka. Suka banget sama suasana ini. Ini mah saya bangeeet :D



Saat sampai disana, lupa difoto. Baru sempat saat mau pulang. Gelap deh hasilnya :D










Bangunan ini bukan rumah, melainkan lumbung padi warga



Disana kami bertemu dengan Kepala Desa Kanekes sekaligus sebagai salah satu dari masyarakat Baduy Luar. Namanya Dainah. Jaro Dainah. Kami juga bertemu dengan tokoh dari Baduy Luar, yaitu Bapak Saija dan Bapak Lupa Namanya. Kami menjelaskan maksud kedatangan kami dan menanyakan segala informasi yang dibutuhkan untuk referensi proposal. Karena saya dan Ibu Minsar memahami masyarakat Baduy sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat, maka sempat di awal diskusi, kami terlihat kaku dalam berbicara, khawatir jika apa yang kami sampaikan melukai perasaan mereka dan bertentangan dengan adat, sehingga kami memilah-milah kata yang tepat untuk disampaikan. Namun, karena memilah-milah itu, yang disampaikan jadi kaku dan berasa atmosfer pertemuan tersebut sangat serius dan sedikit tegang.

Hingga akhirnya pada saat Bapak Saija menjelaskan sesuatu dan beliau menyebutkan pupuk yang digunakan disini berasal dari “tai kotok”, saat itulah saya dan Aida tidak bisa menyembunyikan tawa dan akhirnya tertawa terbahak-bahak. Sudah lama saya tidak mendengar atau mengucapkan “tai kotok”. Ketika sekarang mendengar lagi, rasanya lucu, apalagi melihat mimik muka Bapak Saija saat mengucapkannya. Bapak Lupa Namanya menyadari apa yang kami tertawakan dan akhirnya ikut tertawa. Sedangkan Ibu Minsar dan Bapak Saija yang tidak mengetahui apa maksudnya terlihat bingung. Ibu Minsar berpikir bahwa “tai kotok” adalah “kotoran burung”. Saat saya jelaskan bahwa itu adalah kotoran ayam, beliau akhirnya paham dan ikut tertawa. Demikian juga Bapak Saija. Barulah akhirnya suasana menjadi cair :)



Lelaki yang di tengah adalah Bapak Saija. Sedangkan lelaki di ujung kanan adalah Kepala Desa (Jaro Dainah). Wanita yang memakai rok kain adalah Ibu Eneng, salah satu dari kader kesehatan posyandu di kampung Kaduketug



Tidak lama kami berada disana, karena hari juga mulai gelap. Kami berdiskusi sekitar 2 jam dan pulang menjelang magrib. Meski hanya sebentar, ada kepuasan dan kebahagian tersendiri ketika akhirnya bisa melihat apa yang selama ini hanya dibaca dari jurnal-jurnal dan buku-buku yang mengulas kehidupan mereka. Ada perasaan lega ketika akhirnya bisa mengatakan, “Ooh, seperti ini thoo…”

Esok paginya, jam 6 pagi kami sudah siap untuk pulang. Kami mengejar kereta pagi untuk menyelesaikan proposal tersebut saat sudah tiba di Ciputat. Baiknya Allah itu banget-banget. Kami masih bisa naik kerete pagi sebelum jam 8, padahal saat kami baru sampai stasiun, kereta sudah akan berangkat dan terlihat petugas-petugas stasiun sedang membantu penumpang naik. Allah baik banget, sebab jika kami tertinggal kereta ini, maka kami baru bisa naik kereta berikutnya yang baru tiba pukul 11.25 >.<



Anak-anak sekolahnya hebat bener ya? Kalau di Jakarta, naik di atas atap mobil atau gelantungan di pintu, sudah kena tilang  ya. Salut deh perjuangan buat sekolahnya ^^ 



Singkat cerita (lagi), alhamdulillah proposal sudah selesai dan dapat dikirim saat hari H deadline. Jujur, saat itu saya tidak lagi memikirkan dan berharap apakah proposal kami lolos diterima. Sebab, apa yang telah kami lewati untuk menyelesaikan proposal tersebut sudah menjadi pengalaman dan hikmah yang berharga bagi kami. Bahkan jika ingin benar-benar jujur, saya berharap proposal itu tidak lolos karena beberapa pertimbangan pribadi. Tentang ini, dosen saya tidak tahu :p

Ternyata, Allah berkehendak lain. Sebaik-baiknya keinginan kita, tentu Allah lebih tahu yang terbaik atas kebutuhan kita. Proses seleksi yang memakan waktu sekitar 1 bulan lebih akhirnya menghasilkan pengumuman bahwa secara nasional, terdapat 14 proposal penelitian yang lolos seleksi dari sekitar 317 proposal yang masuk. Dan proposal kami salah satu dari ke-14 proposal tersebut!

Masya Allah. Alhamdulillah. Allahu Akbar.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan, fiii?

Ini adalah penelitian pertama saya sejak lulus kuliah Agustus tahun lalu. Ini juga adalah penelitian bersifat intervensi dan berbasis budaya yang pertama bagi saya sejak lahir. Dan ini juga adalah penelitian pertama bagi saya dan Ibu Minsar yang didanai langsung oleh Kementerian Kesehatan RI. Dan ini berarti hingga Desember 2015 nanti, in syaa Allah, kami akan sering mengunjungi masyarakat Baduy.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan, fiii?

Saat kamu hanya memiliki keinginan sepintas berupa gumaman untuk bisa melihat lokasi Suku Baduy, Allah dengan kemurahanNya mewujudkannya. Lalu kini saat kamu bahagia dan bersyukur dapat berkunjung kesana dan merasa puas paling tidak bisa sekali seumur hidup pergi kesana, Allah dengan kebesaranNya memberikanmu jalan untuk datang lagi berkali-kali kesana. Maka bagaimana hatimu tidak meleleh dibuatnyaaaa? :’’’)

Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih. Terima kasih :*

Sekian dulu ya, lain waktu dilanjut lagi
:)


Tuesday, February 10, 2015

First posting in 2015

Assalamu'alaikum :)

Well, it's my first posting in 2015.
Yeh, a little bit late.

Banyak yang terjadi sejak postingan saya yang terakhir.
Banyak yang ingin diceritakan di sini.
Namun sekarang belum ada waktu yang dapat disempatkan untuk menulis lagi.
Alhamdulillah, sudah disibukkan dengan kegiatan lain.
Next time akan benar benar-benar full disempatkan in syaa Allah.
Sudah bener-bener rindu untuk curcol di sini, hihi :p

But, mungkin jika berkenan, kalian bisa mengunjungi IG saya di @softnesslight
Masih anget itu, baru bikin, akhirnyaa *pamer udah punya hehe
There are some pieces of a lot of my moments I through.

See ya :)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...