Pages

Monday, March 05, 2012

The rain for a pain


favim.com



Hujan, kenapa kau menambah kesedihanku dengan hadirnya dirimu sekarang?

Karena aku ingin memberikan pelangi indah untuk menghiburmu

Untuk sebagian orang berpendapat bahwa hujan adalah media yang dapat menstimulus orang yang lagi sedih sehingga semakin sedih. Rintik-rintik hujannya itu lho yang nggak nahan, ditambah backsound-nya yang iktu memprovokasi suasana. Alhasil air mata yang tadinya satu tetes demi satu tets, berubah jadi seliter demi seliter (lebaynyaaa..). Apalagi untuk tipe malankolis seperti aku, hujan membuat hati semakin remuk redam dan terjerumus ke kesedihan yang lebih dalam. Biasanya kalau sudah begini, aku sulit untuk bangkit. Aku sulit untuk mengangkat kepala dan berkata bahwa “Aku baik-baik saja”. Butuh waktu lama untuk kembali seperti biasa. Tak jarang aku harus menunggu uluran tangan orang lain untuk kembali semangat.

Mengenai hujan...

Tidak bisa sepenuhnya kita menyalahkan hujan. Kita semakin sedih bukan karena hujan. Hujan tidak salah. Hujan muncul sebagaimana harusnya. Jika hujan muncul, itu berarti harus muncul.  yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah, “Kenapa kita sedang sedih ketika hujan turun?”. Jika tidak sedang sedih, belum tentu kita beranggapan bahwa hujanlah penambah kesedihan. Bisa jadi kita berpikir bahwa hujan sangat menyenangkan, membuat hati berbunga-bunga, dan membuat anak-anak kecil tertawa.
Tidak akan ada hamparan hijau tanpau rintik hujan yang menyuburkan tumbuh-tumbuhan. Tidak ada panas terik sepanjang tahun karena datangnya hujan melalui awan-awan mendung. Tidak ada kekeringan karena turunnya hujan yang mengisi sumur-sumur. Lalu, masih bisakah kita menyalahkan hujan?

Bahkan ketika kita masih menyalahkan hujan, dia masih memberikan sesuatu yang berharga untuk kita. Melalui sesuatu ini, seolah mengatakan bahwa, “Tersenyumlah...karena kesedihanmu tiada berguna”. Kau tau apa?

Hujan, kenapa kau menambah kesedihanku dengan hadirnya dirimu sekarang?
Karena aku ingin memberikan pelangi indah untuk menghiburmu

Ya, pelangi.

Hujan memberikan pelangi. Untuk membuat kita tersenyum kembali dari kesedihan. Seolah meminta kita untuk membuang jauh-jauh kesedihan itu dan semangat kembali. Seolah mengatakan banyak cara dari warna-warninya untuk mengatasi masalah sumber kesedihan.
Bukankah hidup memang seperti itu teman?

Ketika kita menghadapi masalah dan hampir putus asa menghadapinya, muncul satu masalah lagi yang membuat hati semakin sedih. Lalu kita berharap satu masalah itu tidak pernah muncul. namun bisa saja satu masalah itu adalah masalah bagi kita tapi menjadi berkah untuk orang lain.

Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Bisa jadi satu masalah itu merupakan titik terang untuk menghadapi masalah-masalah kita yang lain. Bisa jadi satu masalah itu merupakan media untuk membuat kita lebih kuat, tegar, dan semangat menghadapi msalah-masalah sebelumnya dan yang akan datang. Semua bisa jadi. Karena tidak ada sesuatu pun tanpa makna dibaliknya.

“.....Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu...” (Al-Baqarah: 216)


Nb: sedikit bingung baca tulisan sendiri, entah tersampaikan tidak maksudnya :D

Tuesday, February 07, 2012

Aku terpaksa menikahinya

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.


Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.


“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.


Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”


“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.


Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.


Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.


Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, Ibu. Apakah ibu istri dari Bapak Armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.


Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.


Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.


Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.


Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.


Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.


Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.


Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.


Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.


Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.


Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.


Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya.Oke, Buddy!


Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.


Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.


Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.


Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci. Gimana ya, Bu?”


Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta."


Putriku menatapku, “Seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?"


Aku menggeleng, “Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua."


Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.


sumber: http://bundaiin.blogdetik.com/2011/10/07/kisah-inspirasi-untuk-para-istri-dan-suami/
sumber: http://www.fimadani.com/aku-terpaksa-menikahinya/

Thursday, February 02, 2012

Nostalgia toko gambar #part 3

Assalamu'alaikum..

Nostalgia toko gambar part 3 :)
Liburan semester berasa seperti batu yang mulai lumutan, tidak ada kerjaan, huaa..
Alih-alih bengong gak jelas, iseng-iseng ng-edit deh.
Tutornya lupa apa alamat web-nya, banyaak .
tapi makasiih udah bagi-bagi ilmunya ^^
So, check this out :)
























































































Wednesday, January 25, 2012

9 power girls of Epidemiology


Assalamu’alaikum...

Hingga Rabu pagi ini aku masih senyum-senyum sendiri. Senangnya itu lho susah ditahan. Ibuku lah yang jadi korban pendengar celotehanku. Meski dia sedang serius nonton drama di DAAI TV, tapi dia berusaha konsen menjadi pendengar yang baik.

Bagaimana tidak senang, Selasa kemarin adalah hari yang aku dan teman-teman tunggu sejak hampir 3 bulan yang lalu. Pengumuman itu akhirnya tiba. Pengumuman yang akan menentukan nasib kami setidaknya untuk 5 semester ke depan.

Maret nanti kami akan di semester 4 yang mana peminatan sudah dibuka. Alhamdulillah, di angkatan kami, tujuh peminatan sudah bisa dibuka. Namun, hanya  empat peminatan yang bisa dibuka terkait jumlah angkatan kami yang sedikit, sekitar 80 orang. Jadi sistemnya buka tutup seperti tahun lalu. Tujuh peminatan itu, yaitu K3, Kesehatan Lingkungan, Manajemen Pelayanan Kesehatan, Gizi, Epidemiologi, Promosi Kesehatan, dan Biostatistik.

November lalu sudah dibuka Open House peminatan Kesehatan Masyarakat. Masing-masing dosen penanggungjawab peminatan mempresentasikan tentang masing-masing peminatan. Lalu kami dibagikan formulir untuk memilih 3 peminatan dengan prioritas utama dari 1 sampai 3. Di lembar itu juga disertakan nilai-nilai mata kuliah atau UAN sebagai penunjang peminatan yang kita pilih, meskipun pertimbangan utamanya adalah prioritas utama, niat dan alasan kita memilih peminatan itu.

Dan saat itulah perjuangan kami dimulai...

Kami, 9 orang, yaitu aku, najah, ati, rizka, zata, wiwid, ii, karlina dan ana berjuang agar peminatan Epidemiologi dapat dibuka (berasa kayak 9 power girls, hehe). Sebenarnya tidak ada hal khusus yang kami lakukan. Kami hanya perlu memilih Epidemiologi sebagai pilihan pertama di lembar formulir, tapi itu artinya kami mengorbankan nasib kami jika Epid tidak dibuka. Ini karena Epid sebelumnya belum pernah dibuka dan jumlah minimal kelas peminatan dibuka adalah 15 orang. Jadi ada kemungkinan kami dilempar ke peminatan lain. Huaa..

Selama 2 minggu batas pengumpulan formulir itu, kami berusaha memprovokasi teman-teman yang lain agar memilih Epid, meskipun tidak menjadi pilihan pertama. Setidaknya jika dari mereka ada yang terlempar, mereka akan masuk Epid sebagai pilihan alternatif kedua atau ketiga sehingga kuota Epid bisa mencapai hampir 15 orang.

Tapi tidak mudah untuk membujuk rayu mereka. Masing-masing memiliki pandangan sendiri untuk masa depannya. Kemana mereka melangkahkan kaki untuk masa depan, hanya mereka yang dapat memutuskan. Jadi meskipun kami berusaha keras membujuknya, keputusan ada di mereka. Karena kita sudah dewasa (wuii.. aku d.e.w.a.s.a).


Ya Allah, Engkau Yang Maha Berkehendak.
Engkau lebih mengetahui apa yang kubutuhkan dibanding apa yang kuinginkan.
Jika Engkau meridhoi pilihanku, mudahkanlah.
Jika Engkau berkehendak lain, ikhlaskanlah hati ini menerimanya..

Lalu formulir anak-anak itu dikumpulkan. Kami bersembilan sengaja mengisinya bareng-bareng pada hari H agar tidak ada yang berkhianat dan mengganti pilihan yang lain (pengalaman kakak kelas dulu, hehe). Kami perlu menunggu hingga ada yang dipanggil untuk sesi wawancara. Mungkin tujuannya untuk mengarahkan dan meyakinkan atas peminatan yang kita pilih. Akhirnya daftar anak-anak yang akan diwawancara telah dipampang di mading. Lumayan banyak, hampir 20 orang. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang memilih Epidemiologi untuk diwawancara. Padahal awalnya mengira kami lah yang akan dipanggil untuk diarahkan memilih peminatan yang tahun sebelumnya sudah dibuka (wah.. negative thingking ^^v).

Tapi ada yang berubah. Wawancara dibatalkan. Lalu terdengar kabar bahwa akan ada pemilihan ulang peminatan. Muncullah berbagai alasan adanya pemilihan ulang. Mulai dari alasan kami ngawur dalam memilih peminatan, penggunaan prioritas pilihan yang tiga-tiganya sama hanya satu peminatan, peminatan Gizi yang tidak boleh ditutup, dsb.

Memang sih untuk Gizi hanya sedikit yang milih dibanding jumlah Epid. Flashback ke dua minggu batas pengumpulan formulir, kami sekelas musyawarah tentang pilihan peminatan. Hasilnya ditulis di papan tulis. Untuk pilihan pertama, paling banyak yang memilih K3, yaitu sekitar 33 orang dari 80 orang. Lalu kesehatan lingkungan (keslling), dan MPK yang saingan banyaknya. Lalu tersisa Epid dan Gizi yang bedanya tipis. Epid ada 9 orang dan gizi ada 6 orang. Itu artinya Epid memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dibuka dibanding Gizi. Akhirnya mereka yang Gizi berpindah haluan ke peminatan2 lain, kecuali Epid (banyak yang anti epid, huhu). Yang kutahu hanya 2 orang yang tetap memilih Gizi sebagai pilihan pertama.

Lalu permasalahannya adalah (ini kata temen) peminatan K3 dan Gizi tidak boleh ditutup karena itu adalah peminatan tertua sejak Kesmas berdiri (tahun di atasku sudah dibuka K3, Kesling, Gizi dan MPK). Jadi jika ingin ditutup, haruslah Kesling atau MPK sebagai peminatan yang termuda. Walah, tambah ribet ini.

Lagi-lagi aku hanya bisa berdoa dan pasrah. Kami bersembilan sepakat untuk tetap memilih Epid. Dukungan dari teman-teman dan dosen Epid juga sudah cukup untuk meyakinkan kami berjuang demi Epid (kok lama-lama berasa kayak mau ke medan perang ^^”).

Akhirnya dilakukanlah Open House ulang. Itu memakan waktu satu hari full dari pagi sampai sore. Presentasi peminatan kali ini lebih lama. Pada saat itulah sekretaris prodi kesmas menjelaskan adanya pemilihan ulang peminatan. Dia bilang bahwa alasan kami memilih peminatan ngawur, nggak realistis dan terkesan lebay, seperti “Alasan saya memilih peminatan ini adalah karena hati dan pikiran saya hanya ada peminatan ini.” Hihi.. lucu. Lalu kebanyakan dari kami menggunakan 3 pilihan hanya untuk 1 peminatan. Padahal tujuan adanya 3 itu agar kami punya alternatif jika kami dilempar (maksimal kuota satu peminatan adalah 20 orang).

Langsung saja hati ini ciut mendengar penjelasan beliau. Karena seolah-olah yang dikatakannya adalah hanya untukku. Bagaimana tidak, di formulir pilihan pertamaku adalah Epid dengan alasan “Karena saya senang dengan Epid. Hati saya cocoknya sama Epid. Orang tua merestui saya memilih Epid. Saya sudah sholat istikharah dan makin mantep dengan Epid. Dan bla..bla..bla”. Begitu pun dengan pilihan kedua. Aku memilih Epid dengan alasan “Karena sekali Epid tetap Epid dan bla..bla..bla”. Lalu pilihan ketiga aku tetap memilih Epid dengan alasan “Saya nggak tahu mau pilih apalagi selain Epid dan bla..bla..bla”. memang sih terkesan lebay. Tapi ini maksudnya adalah bahwa aku serius dengan Epid dan berharap kelas Epid bisa dibuka.

Lalu kami diberi waktu untuk mengembalikan formulir besoknya. Tapi kali ini berbeda. Peminatan yang dibuka ada lima. Bisa dibilang angkatan kami adalah angkatan yang bandel dan pertama kalinya ada pemilihan peminatan ulang. (horee..prok prok prok :D). Mungkin dibuka lima agar Gizi tetap dibuka. Entahlah..

Besoknya formulir dikumpulkan. Aku memilih Epid, Kesling dan Promkes. Muncullah hal yang baru lagi. Banyak anak-anak yang memilih Promkes (Promosi Kesehatan) sebagai pilihan alternatif kedua atau ketiga. Di sisi lain, sepertinya anak-anak tidak memilih Gizi sebagai pilihan alternatif. Waah.. makin seruuu..

Selang seminggu, artinya Selasa kemarin, pengumuman itu tiba. Lima peminatan sudah dibuka, yaituuu..

Jeng jeeeengg...

Jeng jeeeeeeengg...

Jeng jeeeeeeeeengg... (kelamaan jeng jeeng ^^”)

K3, Kesling, MPK, Epidemiologi, dan Promkes !!!

Horeeeee...

Alhamdulillah Ya Allah, Engkau mengabulkan doaku. Kini aku dan 8 orang temanku masuk Epid. Ditambah 6 orang yang terlempar ke Epid. Senangnya. Sampai pengen nangis, hiks :’)

Subhanallah, bener-bener nggak nyangka. Usaha kami untuk mempertahankan Epid membuahkan hasil. Kalau udah gini, jadi inget tentang ayat ini:

...Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri... (Ar-Ra’d: 11)

Memang, perjuangan itu kalau berjuang sampai akhir, insya allah hasilnya manis :)

Niat kami tulus. Perjuangan kami ikhlas. Doa kami selalu teriring agar Allah meridhoi dan memudahkan jalan yang kami pilih untuk menggapai masa depan cerah yang sudah menunggu kami.. ahli Epidemiologi. Insya Allah. Aamiin.

Tapi satu hal yang pasti. Apapun peminatan yang kami pilih, gelarnya tetap SKM (Sarjana Kesehatan Masyarakat). Insya Allah :’)



Nb: Terima kasih untuk Ibu yang selalu sabar mendengar keluh kesahku karena peminatan ini. Ketika aku senang, kau juga senang. Ketika aku sedih, kau juga sedih. Ketika aku putus asa, kau pun juga.  Kau selalu ada di tempatku berdiri. You’re my lovely Mom :)

Saturday, January 21, 2012

Riwayat alamiah penyakit


RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT

Definisi RAP
RAP adalah deskripsi tentang perkembangan alamiah, tanpa campur tangan medis dari suatu penyakit pada individu (host) mulai dari awal  terpapar suatu agent patogen  sampai akhir  proses penyakit, penyembuhan atau meninggal.

Tahap-tahap RAP
Riwayat alamiah suatu penyakit pada umumnya melalui tahap-tahap sebagai berikut (M.N Bustan,2006):
  1. Tahap prepatogenesis
Pada tahap ini individu berada dalam keadaannormal/ sehat tetapi mereka pada dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit (stage of susceptibility). Walaupun demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di luar tubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada di luar tubuh penjamu di mana para kuman mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang penjamu.
  1. Tahap patogenesis
-          Tahap inkubasi
Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbul gejala penyakit. Masa inkubasi ini  bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya.
-          Tahap dini
Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang kelihatannya ringan. Tahap ini sudah mulai menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan patologis, walaupun penyakit masih dalam masa subklinis. Pada tahap ini, diharapkan diagnosis dapat ditegakkan secara dini.
-          Tahap lanjut
Pada tahap ini penyakit bertambah jelas dan mungkin bertambah berat dengan segala kelainan klinik  yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan. Saatnya pula, setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan yang tepat untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik.
  1. Tahap pasca patogenesis
Tahap pasca patogenesis/ tahap akhir yaitu berakhirnya perjalanan penyakit yang dapat berada dalam pilihan keadaan, yaitu sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, karier, penyakit berlangsung secara kronik, atau berakhir dengan kematian.

Rantai Infeksi
Dalam terjadinya penyakit, terdapat suatu rantai infeksi yang menyebabkan penyakit dapat terjadi atau disebut juga pola penyebaran penyakit. Komponen rantai infeksi yaitu agent, reservoir, portal of exit, mode of transmission, portal of entry, dan susceptible host. Reservoir adalah habitat tempat agen infeksius biasa hidp, tumbuh dan memperbanyak diri. Reservoir dapat berupa manusia, hewan, dan lingkungan.
Agen meninggalkan reservoir melalui pintu ke luar (portal of exit), yaitu jalan agen meninggalkan pejamu sumber, biasanya berhubungan dengan agen yang terlokalisasi, contohnya:
-          Sistem respirasi:  TB paru, influenza
-          Urin: Leptospira
-          Feses: Vibrio cholera
-          Lesi kulit: Sarcoptes scabiei
-          Jalur kulit (perkutaneus): isapan darah artropoda (malaria, DBD)
Lalu agen ditransmisikan dengan model tertentu agar dapat masuk ke pejamu melalui pintu masuk (portal of entry), sehingga menginfeksi pejamu yang rentan. Mode transmisi dapat berupa:
-          Transmisi langsung
Yaitu transfer agen segera dari reservoir ke pejamu yang rentan dengan cara:
·         Kontak langsung, contoh: gonore
·         Penyebaran droplet, contoh: bersin, batuk, bicara
-          Transmisi tidak langsung
·         Airborne (udara): debu, droplet nuclei (droplet yang dikeringkan), cont: TB paru
·         Vechicleborne: melaui agen yang masuk ke dalam makanan, air, darah
·         Vectorborne: agen yang mengalami atau tidak mengalami perubahan fisiologik dalam tubuh vektor
Pintu masuk kuman sama dengan pintu keluar, seperti kulit, sistem respirasi, membran mukosa, darah, dsb.  Lalu melalui pintu masuk itu kuman menyerang pejamu yang suseptibel. Suseptibilitas bergantung pada faktor genetik, imunitas yang didapat, kemampuan bertahan terhadap infeksi, membran mukosa, dll.

Konsep Tingkat Pencegahan
Beaglehole (WHO, 1993) membagi upaya pencegahan menjadi 3 bagian : primordial prevention (pencegahan awal) yaitu pada pre patogenesis, primary prevention (pencegahan pertama) yaitu health promotion dan general and specific protection , secondary prevention (pencegahan tingkat kedua) yaitu early diagnosis and prompt treatment dan tertiary prevention (pencegahan tingkat ketiga) yaitu dissability limitation. Untuk lebih lanjut, akam diuraikan sebagai berikut:
  1. Pencegahan Premordial
Jenis pencegahan yang paling akhir diperkenalkan, adanya perkembangan pengetahuan dalam epidemiologi penyakit kardiovaskular dalam hubungannya dengan diet, dll. Pencegahan ini sering terlambat dilakukan terutama di negara-negara berkembang karena sering harus ada keputusan secara nasional.
Tujuan premordial prevention ini adalah untuk menghindari terbentuknya pola hidup sosia-ekonomi dan kultural yang mendorong peningkatan resiko penyakit. Upaya ini terutama sesuai untuk ditujukan kepada masalah penyakit tidak menular yan dewasa ini cenderung menunjukkan peningkatannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penegahan awal ini diarahkan kepada mempertahankan kondisi dasar atau status kesehatan masyarakat yang bersifat positif yang dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit atau faktor resiko dapat berkembang atau memberikan efek patologis. Faktor-faktor itu tampaknya bersifat sosial atau berhubungan dengan gaya hidup danpola makan. Upaya awal terhadap tingkat pencegahan primordial ini merupakan upaya mempertahankan kondisi kesehatan yang posotif yang dapat melindingi masyarakat dari gangguan kondisi kesehatannya yang sudah baik.
2.       Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini bertujuan untuk mengurangi incidence dengan mengontrol penyebab dan faktor-faktor risiko. Misal : penggunaan kondom dan jarum suntik disposable pada pencegahan infeksi HIV, imunisasi, dll. Biasanya merupakan Population Strategy sehingga secara individual gunanya sangat sedikit : penggunaan seat-belt, program berhenti merokok, dll.
3.        Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menyembuhkan dan mengurangi akibat yang lebih  serius lewat diagnosis & pengobatan yang dini. Tertuju pada periode diantara timbulnya penyakit dan waktu didiagnosis & usaha ↓ prevalensi. Dilaksanakan pada penyakit dengan periode awal mudah diindentifikasi dan diobati sehingga perkembangan kearah buruk dapat di stop, Perlu metode yang aman & tepat untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium preklinik. Misal : Screening pada kanker cervik, pengukuran tekanan darah secara rutin, dll
4.       Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi komplikasi penting pada pengobatan & rehabilitasi, membuat penderita cocok dengan situasi yang tak dapat disembuhkan. Misal pada rehabilitasi pasien Poliomyelitis, Stroke, kecelakaan dll.


Referensi:

Anonim, Rantai Infeksi diakses pada tanggal 21 Januari 2012 di http://healtscience.blogspot.com/2011/06/rantai-infeksi.html
Bahan kuliah Pengantar Epidemiologi berjudul Riwayat Alamiah Penyakit oleh dr. Toni, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Bustan,M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dr. dr. H. Sardjana, SpOG (k), SH dan Hoirun Nisa, M.Kes. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta:UIN Press.
Sugeng Juwono Mardihusodo, Riwayat Alamiah, Spektrum, Rantai Infeksi dan Kejadian Epidemik Penyakit
Supayanto, Riwayat Alamiah Penyakit diakses pada tanggal 21 Januari 2012 di http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/06/riwayat-alamiah-penyakit.html



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...