Aku mulai ya.
Melanjutkan cerita tentang
penantian 7 tahun untuk bisa melihat kampung halaman lagi..
Saat akhirnya kaki ini menapak di
halaman depan rumah nenek setelah turun dari mobil jemputan. Speachless! Mata sibuk lihat sekeliling.
Bibir berkedut antara senyum dan melongo.
Rumah itu…
Suara-suara penghuni itu..
Wanginya udara itu..
Rasa rindu ituu..
Wuaaa.. hati meloncat
kegirangan!!!
I’m here! Finally, I’m here!!
Still can’t believe it. But I’m here :’)
Bude Preh segera menghampiri
kami. Begitu juga dengan Bude Pri, Pakde Salam, Sasa, dll. Saliman. Berpelukan.
Cium dahi, pipi. Lalu seperti yang sudah diduga, mereka berkomentar..
“Yeh yeh yeh.. anakmu iki kok uwes gedi-gedi tho Nan?! Gek duwur-duwur kayak bapak’e. Makan opo iki? Gek endi iki si Diyan, endi si Lupi?”
(Yeh yeh yeh, anakmu kok udah besar-besar tho, Nan (nama panggilan Ibu)? Terus juga tinggi-tinggi kayak Bapaknya. Dikasih makan apa? Terus ini mana yang Diyan, mana yang Luthfi?)
Entah kenapa, itu respon pertama
setiap orang disana ketika ketemu aku sama Diyan (my sista). Mungkin karena disana
banyak orang tua yang sudah sepuh kali ya, jadi pas ngelihat yang muda-muda,
berasa kita itu tinggi kayak tiang. Yah.. tapi memang kita termasuk tinggi
disana #ge’er :P
Setelah duduk-duduk sebentar,
beres-beres badan, rapihin baju, dan makan, kita mulai siap-siap ke tempat
mbah. Mbah siapa? Belum diceritain ya?
Jadi gini..
Seperti yang sudah dibilang
sebelumnya, kampung halaman Bapak dan Ibu sama. Hanya beda desa atau kelurahan,
yang keduanya saling berada di perbatasan. Bapak di desa Gesing dan Ibu di desa
Pomahan. Jarak antar rumah mereka hanya 10 menit jalan kaki. Deketkan?! Nah,
rumah nenek ini adalah tempat ibu pas masih kecil dulu, di Pomahan. Sebenarnya ini
rumah Bude Preh (kakak pertama Ibu) yang juga bersebelahan rumahnya dengan Bude
Pri (kakak kedua Ibu). Jadi nenek tinggal sama Bude Preh. Tapi aku panggil
nenek dengan sebutan “Mbo’e” lho ya. Ikut-ikut Ibu, hehe..
Nah, malam itu kami ke rumah Mbah
(Kakek dari Bapak) yang juga tinggal bareng Bude Rah (kakak dari Bapak), Pakde
Karni (suami Bude Rah) dan Dek Nur (anak Bude Rah yang umurnya sepantaran aku).
Kami saliman, pelukan, cium dahi dan pipi serta nggak ketinggalan komentar
tentang betapa tingginya aku dan Diyan ^.^a”
Kami nggak lama disana. Hanya ngobrol
sebentar lalu kembali ke desa Pomahan. Untuk malam pertama itu kami tidur
disana. Bergulung-gulung dengan selimut tebal. Udaranya bener-bener dingiiiiin
sedingin-dinginnya. Serius lho. Bahkan daerah Puncak saja kalah dinginnya. Secara
gitu ini kampungku ada di lereng gunung yang gunungnya sendiri sepi penduduk
dan banyak wilayahnya yang belum terjamah. Benar-benar terpencil. Sinyal modem Smart pun tak sampai (sorry, sebut merek ^.^).
Sembari menggigil kedinginan
menunggu mata terpejam, di dalam hati mulai menyilang satu hari yang sudah
terlewat. Oke…waktuku nggak banyak disini (seperti kenal kata-katanya~~). Harus dimanfaatin
sebaik-baiknya. Besok, pembalasan penantian 7 tahun ini sudah harus mulai dibayar!
Lagi dan lagi! Aku suka wanginya
udara di kampung. Bener-bener khas.
Dan juga suara jangkrik dan
kambing di malam hari.
:)
No comments:
Post a Comment