Pagi itu sangat cerah ketika
akhirnya benar-benar merasakan bahwa.. “Hei, aku lagi ada di kampung lho”. Semua
hal yang di sekitar menjadi sangat menarik untuk dilihat.
Atap rumah, pintu, lampu teplok, sarang laba-laba, bunga turi, jalan tapak berbatu, kayu bakar, kandang kambing, pemandian umum, hamparan sawah, aroma tanah, angin semilir, topi capung, cangkul, suara tegur sapa…
Tidak ada yang berubah. Persis sama
seperti 7 tahun yang lalu. Bahkan tetap sama ketika kecil aku tinggal disini.
Hari-hari selama disana diisi
dengan hal yang biasa. Walau sebenarnya aku ingin melakukan ini dan itu. Namun rasanya
itu perlu sesi tersendiri jika ternyata disana aku hanya sibuk diam menikmati
suasana yang ada sembari jadi fotografer amatir memotret apa saja yang dirasa
menarik. Jika hari ini aku ada di desa Pomahan, berarti hari berikutnya aku ada
di desa Gesing. Begitu seterusnya. Well, meski
sebenarnya lebih sering di desa Pomahan. Alasannya? Karena Ibu nggak mau aku
ajak kesana. Masih kangen sama Mbo’e katanya. Memang nggak bisa sendiri? Bisa siih.
Cuma rada gimana gitu. Merasa “asing” jika sendirian meski itu ke rumah mbah.
Nah, kali ini aku pengen
menceritakan tentang keadaan dua desa tersebut. Suasana di antara keduanya. Meski
secara fisik sama, tapi secara abstrak berbeda. Haha.. apa coba. Langsung aja deh.
Hem.. tentang desa Gesing dulu ya..
Rumah Mbah dan Bude Rah letaknya
di pinggir jalan. Jalannya hanya mampu di lewati oleh satu mobil. Di seberang
jalan sudah merupakan hamparan sawah terasering. Tahu terasering kan? Itu lho, sawah yang
berundak-undak dari atas ke bawah.
Dari segi angin, letak rumahnya
sangat strategis, yaitu di lereng gunung tanpa pohon-pohon di depannya yang
menghalangi angin datang. Alhasil, subhanallah.. anginnya kenceng banget euy. Kayak
angin ribut. Apalagi kalau malam hari. Angin dan udara dingin sukses membuat
badan menggigil dan tidak ada yang berani keluar rumah.
Tapi yang aku suka dari rumah Mbah ini adalah view nya yang bener-bener wah banget. Kalau di sana, aku jamin siapa pun rela hanya duduk di teras sambil minum kopi atau hanya duduk diam menikmati angin semilir dan hamparan sawah yang sangaat luas sepanjang mata memandang. Nggak percaya? Yuuk lihat ini...
pemandangan dari seberang kanan teras rumah Mbah |
pemandangan dari sebelah kiri teras rumah Mbah |
Hmm, sebenernya sebaik-baiknya lensa adalah lensa mata sendiri. Foto-foto ini nggak cukup mendiskripsikan gimana indah sebenarnnya keadaan disana. Tapi cukuplah~~ untuk nice to know :)
Jalan yang seperti kita lihat ini dulunya bukan dari aspal. Baru beberapa tahun ini dilapisin aspal. Dulunya masih berupa pecahan batu-batu kali yang agak tajam. Itu sebabnya, orang-orang disana, terutama yang sudah sepuh senang berjalan-jalan di atasnya tanpa alas kaki. Tujuannya ya sebagai terapi pijat alami.
Jika rumah-rumah di Jakarta selokannya kecil, disini selokannya besar dan dalam. Aliran airnya juga cukup deras sehingga juga digunakan untuk irigasi sawah. Oleh karena itu, warga menyebutnya ini adalah kali kecil. Sayang, beberapa waktu ini musim kemarau sangat panjang sehingga aliran airnya tidak deras. Bahkan di beberapa tempat, kali kecilnya benar-benar kering.
Usaha Pakde dan Bude adalah
warung pecel. Meski warungnya sederhana, alhamdulillah laris pembeli. Pecelnya memang
sangat enak, terutama sambel kacangnya. Ini yang bikin aku selalu ingin
berkunjung kesana. Pokoknya nggak ada duanya deh. Apalagi satu porsi dijual dengan harga yan terbilang cukup murah. Anyway, kalian tahu tidak cara membuat pecel? Yuk mariii dilihat
dulu..
pertama, beli sayur pecelnya dulu. biasanya jika tidak beli di pasar, Bude beli pada penjual sayur keliling. |
bungkusan capar - semacam toge yang baru tumbuh tetapi berwarna kuning dan lebih besar |
kedua, sayurnya dipotekin atau dipotong-potong, dicuci lalu direbus |
ketiga, membuat sambel kacang |
terakhir, siap disajikan :) |
Bude dan Pakde bisa dibilang cukup atau bahkan sangat sayang pada kami (red- aku dan Diyan). Tiada hentinya menyuguhkan makanan atau cemilan secara bergilir. Memaksa kami untuk mencobanya satu-satu. Jika yang disuguhkan itu belum juga dicicipi, mereka tidak akan meninggalkan kami sendirian. Kata-kata "Iya Pakde, Bude..Luthfi masih kenyang." atau "Iya Pakde, Bude, nanti saja. Nanti Luthfi makan." sudah tidak mempan. Sampai perlu berkali-kali mengatakannya dengan senyum paling manis untuk bisa meyakinkan mereka bahwa aku sudah kenyang. Hahaa, sempet terpikir bahwa mungkin mereka beranggapan mumpung masih disini, saatnya aku dan Diyan perbaikan gizi.
"Fiii, Bude ambilin makan ya. Belum nambah kan tadi makannya. Mau emping ngga?"
"Fiii, mau kopi nggak? Bude buatin ya. Atau mau teh? Kamu mau jajan ngga? Ayuk, jajan dulu."
kopi hasil tumbukan Pakde, ampas bijinya pun masih sangat kasar |
Bicara masalah makanan, jadi keingetan dapur. Dapur-dapur yang ada di kampung berbeda dengan yang di Jakarta. Tidak berlantai keramik dan masih menggunakan tungku dan kayu bakar untuk memasak. Hanya rumah yang akhir-akhir ini baru dibangun atau telah direnovasi sehingga dimodifikasi sebagian keramik, sebagian tanah atau peluran semen kasar. Karena itu, sandal adalah kebutuhan utama disana. Tidak hanya dipakai keluar rumah, tapi juga dipakai di dapur.
meski ada kompor gas, tungku kayu bakar tetap digunakan |
Ketika kami disana, banyak orang
yang mengaku-ngaku sebagai Mbah kami. Kenal wajah pun tidak, apalagi nama. Setiap
orang sepuh yang lewat depan rumah Bude atau sekedar mampir sebentar untuk
membeli pecel, akan dikenalkan oleh Bude atau Pakde sebagai Mbah kami.
“Diyaan, Mba Lupiii. Ini lhoo Mbah-mu? Masih inget ga?”
“Diyaaan, Mba Lupiiii. Sini bentar. Salim sama Mbah.”
Kami hanya salim dan memberikan
senyum termanis. Ketika mereka sudah pergi, segera kami bertanya ke Pakde Bude,
“Itu Mbah yang dari mana, Bude?” atau “Itu Mbah yang mana lagi, Pakde?” atau “Tadi
itu siapa, Bude?” atau “Kok, Mbah kita banyak banget?” dan lain-lain.
Wajar sebenarnya jika Mbah kami
banyak dan tidak bisa mengenali semuanya. Saudara dari Mbah asli pun adalah
Mbah kami juga. Saudara dari orang tuanya Mbah asli pun adalah Mbah kami juga. Ditambah
silsilah keturunan masing-masingnya juga akan menjadi Mbah kami. Tidak hanya
itu, siklus pernikahan mereka adalah satu desa. Sehingga, Mbah yang hanya
sekedar tetangga tetapi karena ada tali pernikakan dari salah satu kerabat
jauhnya dengan salah satu kerabat kami, maka bisa menjadi Mbah kami juga. Heeeh,
susah menjelaskan. Kesimpulannya, satu desa Gesing kurang lebih semuanya adalah
saudara kami. Haha.
Tapi
kamu tahu tidak, masih ada warga disana yang menggunakan pemandian umum untuk
mandi. Pemandian umum ini tidak seperti pemandian air panas yang sering kita
dengar. Tapi benar-benar tempat mandi untuk umum. Bentuknya sederhana, bangunan
kotak tanpa atap yang bersekat tembok untuk perempuan dan laki-laki. Lantainya dari batu
kali berlumut yang disana sini terdapat celah tempat kepiting-kepiting
bersembunyi. Kolamnya pun sederhana, dengan banyak lumut di setiap dindingnya
dan airnya.. berasal dari air hujan. Dinginnya luar biasa. Tapi sangat segar.
Dulu saat masih di sekolah dasar,
setiap kali berkunjung ke rumah Mbah, aku mandi disana. Ramai-ramai bareng
warga yang lain, terutama mereka yang sudah sepuh. Perlu ekstra hati-hati
terhadap lumut yang sangaaaat licin. Apalagi jika ternyata lumut yang di kolam
air juga sedang banyak-banyaknya, kami perlu menyaringnya dulu pakai saringan
santan, haha. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Hanya beberapa orang yang masih
pergi kesana. Bude sudah membuat bilik kamar mandi dengan memasang pompa yang
berasal dari kolam tersebut. Tapi tetap tidak ada WC. Jadi jika ingin BAB, kami
numpang di tempat kerabat samping rumah atau pergi ke kali besar di bawah sawah
terasering. Hehe.
Lanjut ya~
Sore itu rasanya sayang jika
tidak mengabadikan potret diri berlatar pemandangan yang cukup indah.. alias
narsis #hehe. Selepas mandi, kita jalan-jalan di sekitar rumah Mbah. Cukup banyak
yang kami potret. Tapi kayaknya lebih sering pemandangan dan Diyan sebagai objeknya.
Diyan |
Akhirnya
senja datang. Terlihat dari jauh kakek tua membawa cangkul pulang dari
sawah. Si Mbah. Itu Mbah – yang baru pulang bekerja. Umur Mbah sudah 80 tahun
ke atas. Tapi tenaganya masih kuat seperti anak muda. Tidak kenal lelah atau
istirahat. Anak-anaknya sudah mengingatkan agar Mbah “pensiun” dari bertani dan
menghabiskan masa tuanya untuk santai di rumah. Tapi keras kepala. Marah jika
dinasehati seperti itu. Alasannya adalah badan terasa sakit jika tidak ke
sawah. Pegel-pegel. Maunya gerak kesana kemari. Mungkin.. itu cara Mbah mengisi
kesendiriannya di hari tua. Mencari kesibukan untuk menghibur diri yang sepi. Ya…
pasti terasa sepi. Istri Mbah sudah lama meninggal karena sakit. Aku dan Diyan
pun belum pernah melihatnya. Ya.. pasti sepi. Sehingga menyibukkan diri di
sawah. Setidaknya, ada teman seumuran untuk diajak ngobrol di sela-sela lelah
saat mencangkul.
one of some my favorite pictures |
Biasanya Mbah pergi ke sawah
mulai dari jam 7 atau 8 pagi. Pulang menjelang siang untuk makan dan
kipas-kipas badan. Ketika keringat sudah kering, beliau pergi lagi hingga
senja. Tidak banyak yang Mbah bawa, hanya cangkul dan topi serta tanpa alas kaki. Selalu
ada saja yang dikerjakan. Entah mencangkul tanah, menanam padi muda, membuat
irigasi atau hanya melihat dan menjaga padi-padi yang belum kuning.
Alhamdulillah, masa panen padi
datang beberapa waktu yang lalu. Para petani yang lain bersyukur karena
berhasil melalui masa paceklik beberapa bulan yang lalu, yang membuat banyak
petani gagal panen, termasuk Mbah. Panen kali ini pun, hasil yang Mbah dapat
tidak banyak. Hanya beberapa karung beras. Tapi hal ini dirasa jauh lebih baik.
Hmm, mungkin kalau mudik kesini lebih awal, kami masih bisa melihat hamparan
padi menguning, yang tentunya jauh lebih indah dari sekarang. Yaah, semoga lain
waktu bisa kesini lagi, saat musim panen.
Oh ya,
ada satu hal lagi yang menarik disini. Arisan. Bukan sembarang arisan. Pesertanya
adalah mereka yang memiliki sawah atau seorang buruh sawah. Diadakannya setiap
kali musim panen tiba. Hasil arisannya dapat berupa karungan beras atau hewan
ternak. Wah, tidak bisa dibanyangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai
semuanya kebagian hasil kocokan. Jika musim panen adalah 3 sampai 4 kali
pertahun dan pesertanya hampir 40 orang.. bisa sampai bertahun-tahun arisannya baru
bisa selesai! Ckckck.
Oke, lanjut lagi ~
Malam itu kami berbuka puasa dengan es degan. Bagi
mereka yang berpuasa, rasanya pasti nikmat. Tapi bagi aku dan Diyan yang sejak
awal kedatangan kesini sedang berhalangan, rasanya biasa saja. Karena perut
kami sudah kenyang setelah “dicekoki” ini dan itu oleh Pakde dan Bude ^.^”
Buah
kelapanya tidak beli. Hanya perlu sedikit pengorbanan untuk manjat ke pohon dan
petik buanya berapan pun yang disuka. Tapi kali itu, sepertinya salah petik. Kelapanya
sudah agak tua. Cocoknya ini diparut untuk bikin santan.
Seperti yang sudah dikatakan,
saat malam udaranya sangat dingin. Angin di luar rumah sangat ribut. Padahal jarum
jam masih di angka 7. Seharusnya, dingin-dingin begini enaknya tidur. Tapi kasurnya
pun dingin. Bantalnya juga. Sepertinya butuh perjuangan walau hanya untuk
tidur. Ya sudah, tidur dulu ya semuaa~.
selalu ada yang sarungan saat malam datang |
Krik krik krik #bunyi jangkrik di
luar rumah
Tek tek tek #bunyi jarum jam
Wuuuuush #bunyi angin ribut
Oke, jam berapa sekarang? Jam 7.05 malam. Lama sekali
jamnya berputar. Susah memaksa mata yang biasanya tutup jam 12 malam untuk
beradaptasi tutup jam 7 malam. Terlalu jauh jaraknya. Jadi ngapain sekarang?
Oh ya, buka laptop. Browsing….
Modemnya? Yaah, modemnya! Oalah, ada-ada saja. Sinyal modemnya
ngga ada disini. Jadi tujuannya apa iniiii.. bawa laptop jauh-jauh dari Jakarta
dan hanya tergeletak di meja. Tidak terpikirkan apa, Fi.. sebelumnya? :’(
Alih-alih
tidak bisa pakai laptop, aku nemuin foto nikah Bapak dan Ibu. Well,
aku akui, pas muda Bapak ganteng. Ibu juga cantik. Kalau dibandingkan sekarang…
:) |
:* |
Malam itu rasanya sangat panjang. Acara TV tidak ada yang menarik. Ingin ngobrol pun malas karena menggigil kedinginan (klo ngomong, keluar asap lho kayak di tipi-tipi, haha). Akhirnya berbaring saja di kasur dengan tumpukan selimut di badan. Sambil mata terpejam, membayangkan apa yang akan dilakukan esok. Malam ini menyilang satu hari lagi yang terlewat. Waktunya tidak banyak lagi...
Hoaam, sudah ngantuk @.@
Disudahi dulu ya kawan. Kita lanjutkan lagi nanti.
Tentang desa Pomahan, ngabuburit ke telaga ngebel, mengunjungi rumah di kota Ponorogo, dan lain-lain..
:)