Sabtu kemarin aku pulang bersama tiga temanku dari UI. Lumayan banyak barang yang kami bawa, terutama aku dengan satu tas gendong dan tiga tas tentengan. Empat hari yang cukup melelahkan setelah mengadakan seminar nasional disana dan menginap di asrama sana. Namun semua itu sudah terbayar dengan lancarnya acara tersebut, meskipun terjadi beberapa masalah yang cukup memalukan dan aku mencoba untuk melupakannya serta menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga.
Jadi, kembali ke topik semula. Akhirnya kami mendapatkan Debora (bus jurusan Depok - Lebak Bulus) setelah menunggu beberapa menit. Beruntung aku mendapatkan satu tempat duduk dekat pintu depan. Namun teman-teman yang lain terpaksa berdiri di belakang dengan tas-tas bawaan yang cukup berat. Menurut kalian, haruskah aku ikut berdiri di belakang? atau tetap duduk di tempat itu? Lalu kuputuskan untuk duduk dengan catatan sebelumnya aku sudah menawari mereka tempat itu. Namun mereka menolak. Meskipun kata hatiku berkata “senasib sepenanggungan”, tapi dengan bawaan barang seperti ini sudah membuatku membayangkan bagaimana jika aku tidak kuat berdiri lama dan jatuh pingsan. Mungkin terdengar lebay. Tapi itu benar. Aku tidak tahan berdiri lama lebih dari dua jam. Pernah aku mencoba bertahan dan hasilnya aku jatuh pingsan saat upacara bendera di SD dan pingsan lagi di mall saat mencari baju untuk Lebaran. Satu yang harus diingat adalah Debora memiliki rute yang selalu macet sebelum dia masuk tol, sedangkan jarak antara UI dengan tol masih sangat jauh. Untuk kali ini kubiarkan diriku egois. Maaf.
Sore itu benar-benar macet. Debora serasa tidak berlari tetapi ngesot. Kapan kami akan sampai? Lalu sesuatu yang tidak terduga dan tidak pernah aku dan semua penumpang harapkan telah terjadi. Tepat di depan plang bergambar pom bensin dan tulisan “300 M” Debora melambat dan akhirnya berhenti. Hening sesaat. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu suasana menjadi ramai. Keluhan, helaan napas, teriakan, dan wajah-wajah kesal campur menjadi satu setelah sopir berkata, “Solarnya abis”. Aku tanpa reaksi. Bingung reaksi apa yang harus kukeluarkan. Aku hanya terus memeluk erat tiga tas yang ada dipangkuanku. Satu hal yang kupikirkan. Bagaimana keadaan teman-temanku yang berdiri di belakang sana? Masih kuatkah mereka? Aku tidak berani menengok ke belakang.
Tak lama setelah itu sang sopir meminta keneknya untuk mendorong. Sungguh kasihan membayangkan dia mendorongnya. Meskipun jarak 300 M itu dekat, jika mendorong bus dengan penumpang sekitar 30an, dia pun akan mati lemas. Bahkan baru sebentar mendorong, dia meminta penumpang yang duduk di belakang untuk membantu. Mungkin sekitar empat orang.
Aku mulai merasakan Debora berjalan lambat, sangat dan teramat lambat. Ini bukan ngesot, tapi seperti bekicot jalan. Ini akan memakan waktu lama. Ini akan menguras tenaga mereka yang mendorong. Tidak adakah yang bisa kulakukan untuk membantu? Ya Allah, aku tidak tega. Setiap dorongan dan satu putaran roda telah megorbankan setiap tetes keringat mereka, demi mendorong bus berisi sekitar 30an orang ini menuju pom bensin. Pom bensin yang dianggap biasa di mana-mana, dan kini bagaikan oais di tengah gurun. Sedikit lagi. Sedikit lagi. Itulah yang kukatakan pada diriku sendiri. Saat inilah aku memperoleh pelajaran berharga.
Kudengar suara di seberang bangkuku. Seorang Bapak paruh baya dengan uban yang mulai terlihat di kepalanya. Dia berdecak. Bukan karena kagum. Lalu mulai tertawa meremehkan. Terlontar kata,”Ini mah kapan sampainya? Ada-ada aja”. Lau berdecak lagi. Lima menit berikutnya dia kembali berdecak. Ngedumel. Berdecak lagi. Penumpang di depannya - seorang Bapak paruh baya juga - berkata, “Wah, busnya haus ini, perlu minum. Kok, ada-ada saja bisa nyampe kehausan.” Anak kecil yang di samping sopir tertawa karena ucapan Bapak tadi. Lalu kulihat pasangan penumpang turun dari bus. Tak lama kemudian yang pria menyuruh kekasihnya naik kembali. Pria itu berpegangan pada besi pegangan bus dekat pintu dan ikut berjalan, seolah-olah dia menuntun bus itu berjalan. Meskipun hanya berpegangan dan tidak mendorong, setidaknya dia telah mengurangi beban satu orang.
Kesal melihatnya. Pengang kuping ini mendengar Bapak itu hanya mengeluh dan berdecak saja. Apa dia pikir dengan mengeluh semua selesai? Apa Bapak tidak malu hanya duduk menunggu hingga bus itu sampai tempat tujuan? Tidak adakah pikiran untuk membantu mendorong? Bagaimana dengan penumpang yang lain? Apakah kalian akan duduk saja, tidur dan mengorbankan orang-orang yang sedang mendorong sendirian? Aku tahu kita semua penumpang. Kita sudah membayar ongkos perjalanan. Tapi dimana kepedulian itu? Di mana rasa tidak enak hati itu? Di mana hati kalian? Apakah kota metropolitan yang telah membuat kalian membatasi untuk peduli dan menolong sesama?
Andai aku laki-laki, andai aku tidak sedang membawa barang sebanyak ini, aku akan turun dan membantu mereka mendorong. Tapi aku perempuan. Tenagaku tidak sekuat pria-pria yang masih duduk di bangku mereka, sibuk dengan HP masing-masing dan kipas-kipas. Tapi barang bawaanku banyak. Tidak tersedia satu tangan kosong lagi untuk mendorong. Apa yang dapat kubantu? Mungkinkah berjalan seperti pria yang berjalan di samping pintu itu? Kurasa itu pilihan yang terbaik jika ingin membantu. Namun lagi-lagi dengan alasan barang bawaan yang banyak, telah menghalangiku untuk turun. Rasa malu menghinggapiku. Aku malu jika turun sendirian. Kenapa aku harus turun sedangkan yang lain tidak juga ikut turun. Sedikit demi sedikit aku mulai menyadari dan membuatku malu. Aku pun sama seperti mereka. Pengecut! Aku tidak punya nyali untuk bertindak. Aku hanya membual tentang mereka yang tidak memiliki rasa peduli. Karena kenyataannya, aku sama dengan mereka. Aku juga tidak peduli. Aku juga tidak memiliki rasa yang kuat untuk meolong sesama. Bagaimana bisa aku berperasangka buruk pada mereka tanpa melihat diriku sendiri. Ya Allah, ampuni hamba. Hamba terlalu bodoh dan naïf. Hamba munafik.
Baru kusadari 15 menit itu adalah waktu yang sangat lama. Akhirnya kami sampai di pom bensin itu. Aku berterima kasih dalam hati kepada mereka yang berjuang mendorong bus ini. Terima kasih. Setelah ini kami dapat melanjutkan perjalanan yang masih sangat jauh. Kini Debora tidak haus lagi. Dia sudah kenyang. Kami siap berangkat. Sopir itu menghidupkan mesinnya. Terdengar mesin itu bunyi bising, lalu hilang. Sopir menghidupkannya lagi. Bising. Hilang. Hidupkan lagi. Bising. Hilang. Hidupkan lagi. Bising. Hilang. Suara riuh rendah kembali muncul. Ya Allah, apa lagi sekarang. Mesinnya mati!!!
Terbayang sudah langit gelap segera datang. Ya Allah, aku ingin pulang. Aku ingin di rumah.
Segera sopir itu membuka kap mesin di bagian depan, di samping joknya dia. Sangat hitam dan kotor. Terlihat kipas mesin berdebu dan hitam pekat. Ditambah bagian-bagian mesin lain yang sangat rumit. Seolah tak peduli, sopir itu memasukkan tangannya ke dalam mesin. Entah apa yang dia tarik dan putar. Begitu terus yang dia lakukan sambil mencoba menghidupkan mesin. Namun gagal. Mesin hanya nyala sebentar dan mati lagi. Dia berseru, “ Cepet lo cari bengkelnya”. Kenek menjawab, “Udah, di depan ga ada bengkel”. Begitu penjelasannya setelah berjalan jauh ke depan mencari bengkel. Lalu berkata lagi sang sopir, “Yang bener dong lo nyarinya, pasti ada. Gila lo dasar. Gila!!!”. Aku pasrah. Hanya berdoa semoga bus ini bisa hidup lagi.
Alhasil sopir itu terus berusaha menghidupkannya sendiri. Dia terus menarik dan memutar bagian mesin dengan sesekali menghidupkan mesin. Sudah tak terhitung, lebih dari dua puluh kali dia melakukan hal yang serupa. Keringat mengucur deras dari dahinya. Tangannya hitam hingga lengan karena oli. Bapak paruh baya di seberangku kembali berdecak. Sedangkan Bapak paruh baya di depannya kembali berkata, “Wah, busnya masuk angin ini. Kipas mesinnya gak mau muter. Masuk angin busnya!”. Dan lagi, anak kecil di depan kembali tertawa mendengarnya. Kami hanya bisa menunggu keajaiban akan datang. Aku ingat. Aku teringat teman-temanku di belakang sana. Pastilah mereka sangat lelah setelah berdiri sepanjang perjalanan. Kuberanikan diri menoleh ke belakang. Kulihat wajah-wajah kuyu dan pucat. Salah satu dari mereka melihat ke arahku dan tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan senyum pahit. Bahkan kuanggap itu bukan senyum.
……
Mesin itu nyala! Mesin itu nyala!! Mesin itu nyala!!!
Sudah tak terhitung waktu yang kami tunggu. Karena kebetulan aku memang tidak memakai jam tangan. Namun kurasa lebih dari setengah jam sopir itu berusaha menghidupkan mesin.
Alhamdulillah.. terima kasih ya Allah. Atas kemurahanMu kami dapat melanjutkan perjalanan. Sangat bersyukur karenaMu.
Debora kini kembali berjalan. Bergegas dia memasuki tol dan sampailah kami di lebak bulus. Adzan maghrib pun terdengar. Namun aku dan teman-teman memilih untuk melanjutkan perjalanan dan segera tiba di rumah. Setidaknya jaraknya tinggal sedikit lagi dan kami bisa sholat di rumah. Namun lagi-lagi kubiarkan diriku lupa satu hal. Lebak bulus ke pasar Ciputat selalu macet. Belum lagi aku harus nyambung naik satu angkot lagi. Dan semua itu kulalui dengan kepasarahan. Yang terbayang di depan mata hanyalah rumah.
Kini rumah itu benar-benar sudah ada dihadapanku. Tidak ada yang berubah disana. Tentu saja. Memang perubahan apa yang kuharapkan dalam empat hari. Aku tersenyum dalam hati. Senang. Dan kagum. Kagum saat mengetahui bahwa aku menghabiskan 4 jam perjalanan dari Depok ke rumah. Padahal seharusnya bisa ditempuh selama 1 atau 1,5 jam saja. Benar-benar hari yang luar biasa. Tak lupa pelajaran berharga yang kudapat dari Debora.
Pelajaran tentang pentingnya rasa peduli, tenggang rasa, tolong menolong dan pengertian. Bagaimana setiap rasa itu kini sulit didapat dari setiap orang. Bagaimana setiap rasa itu mulai hilang, terutama di kota-kota besar. Perlu intropeksi diri. Lihat diri sendiri dulu. Jangan langsung memandang buruk orang lain. Kita tidak dapat hidup sendiri. Kita makhluk sosial. Kita butuh orang lain. Meskipun orang yang kita bantu belum tentu akan membantu kita di kemudian hari, namun Allah akan memberikan orang lain yang lebih baik yang akan membantu. Terutama jika hidup di kota-kota besar. Persaingan dan individualitas semakin tinggi. Harus mulai dari diri sendiri. Perlu memupuk rasa kepedulian. Kepedulian yang menghantarkan setiap orang untuk melihat orang lain. Merasakan penderitaan orang lain. Merasakan bagaimana rasa senang dan sedih yang dirasakan orang lain. Hidup lebih indah dengan peduli. Akan menjadi lebih ringan masalah yang dihadapi jika saling peduli. Oleh karena itu, kita harus tanamkan rasa peduli. Karena manusia juga diciptakan untuk peduli.
Satu hal yang dapat kukatakan:
Semangat untuk peduli !!!
No comments:
Post a Comment