Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, akhirnya ada
kesempatan untuk menulis kembali. Seperti yang dijanjikan waktu lalu, saya akan
menulis dengan konten yang lebih panjang. Dan kali ini, saya ingin berbagi sepotong cerita
atau pengalaman yang saya lalui dalam hidup yang penuh lika liku ini *halah,
abaikan
Saat masih sekolah, saya beberapa
kali pernah lihat seseorang dengan pakaian hitam dan ikat kepala serta tanpa menggunakan
alas kaki. Kata orang-orang sih, mereka itu adalah orang Baduy. Saat kuliah,
ada kenalan yang bersama teman-temannya pergi mengunjungi Suku Baduy. Masih
saat kuliah juga, saya termasuk penonton setia acara Ethnic Runaway di Trans
TV. Karena hal-hal tersebut, sempat dalam hati saya bergumam ingin bisa pergi
kesana, melihat secara langsung kehidupan masyarakat Suku Baduy. Namanya juga
hanya berupa keinginan dalam gumaman, bagaikan orang yang bilang “iiiih, pengen
deh ini, pengen deh itu”, tidak ada niatan untuk mencapainya.
Namun, siapa sangka bahwa tanpa berdoa
meminta dan ikhtiar sungguh-sungguh, dengan begitu baiknya Allah mewujudkannya!
Saya diberi kesempatan untuk pergi kesana. Masya Allah, sempat speechless waktu
itu. Bagaimana tidak?! Selama ini, meskipun beberapa kali saya tidak membuat
target pencapaian, berdoa atau berikhtiar untuk mendapatkan sesuatu yang saya
inginkan, tapi hanya berupa gumaman, dengan begitu baiknya Allah mewujudkannya.
Lalu bagaimana jika saya benar-benar serius beroda, ikhtiar hingga demi
terwujudnya itu, saya sengaja membuat target pencapaian dalam selang waktu
tertentu, Allah dengan kuasaNya dan kebaikanNya pasti akan mengabulkan. Pantas saja
ada yang pernah bilang, “Jika kamu tahu bagaimana Allah mengatur segalan urusan
kehidupanmu, tentu hatimu akan meleleh karena cintaNya”
fabiayyi ala irobbikuma tukadziban :’)
Awal mula perginya saya kesana
adalah saat awal bulan Februari kemarin, ketika dosen saya, yaitu Ibu
Minsarnawati SKM M.Kes, mengajak saya menjadi partner atau tim untuk melakukan
penelitian kesehatan yang in syaa Allah akan dibiayai oleh Litbangkes Kemenkes
RI. Saya pun menyanggupi dan bersedia bergabung. Padahal, jarak waktu saat
beliau menawarkan bergabung dan deadline pengumpulan proposal sangat dekat,
kurang dari 1 bulan, meskipun pengumuman “Call for Proposal” sudah ada sejak
beberapa waktu sebelumnya. Maka saya ngebut mencari tema penelitian dan
mengerjakan proposal. Jujur, sempat hopeless waktu itu karena proposal yang
diajukan kali ini mesti penelitian intervensi dan berbasis budaya. Susaaah
banget cari lokasi yang sesuai dan terdekat dari domisili yang masih kental
unsur budayanya.
Lalu tanpa disangka, beliau
menyarankan untuk mengajukan proposal penelitian dengan lokasi sasaran di Suku
Baduy! Shock. Speechless. Makin hopeless.
Bagaimana tidak? Melakukan penelitian
yang bersifat intervensi pada kelompok masyarakat umum saja masih tergolong
sulit. Sedangkan kali ini, beliau menyarankan untuk melakukan intervensi pada
masyarakat Suku Baduy, yang notabene aturan-aturan adat masih dijunjung tinggi
oleh mereka sehingga belum tentu intervensi yang kita lakukan dapat diterima
dengan baik. Namun, beliau terus memberi semangat dan meyakinkan bahwa kami
dapat melakukannya.
Singkat cerita, hingga H-3
deadline pengumpulan, proposal kami masih belum matang dan belum pernah dibahas
dengan duduk bersama. Selama ini hanya via email. Menjelang malam itulah kami
akhirnya berdiskusi, di Masjid Fathullah, membahas konsep final penelitian yang
akan diajukan. Sayangnya, yang seharusnya final pun masih belum final karena
kurangnya informasi yang kami miliki tentang masyarakat Suku Baduy. Referensi
yang dimiliki tidaklah banyak. Sedangkan yang kami butuhkan adalah data-data
dan informasi terkini tentang mereka. Kami harus melihat dan menanyakannya
secara langsung.
Dan akhirnyaa, keputusan dadakan
dibuat bahwa besok pagi kami harus pergi kesana!
Tadaaa~
Our trip’s started ! (kepanjangan
yah prolognya di atas :p)
Masyarakat Suku Baduy tinggal di
Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Kami berangkat
kesana dengan naik kerete api dari Statiun Pondok Ranji menuju Stasiun
Rangkasbitung. Berbeda dengan rute-rute stasiun lainnya yang menggunakan kereta
commuterline, untuk menuju Stasiun Rangkasbitung, kami hanya dapat menggunakan
kereta lokal ekonomi. Kereta tersebut paling pagi yang tiba di Stasiun Pondok
Ranji jam 8.44. Sayangnya kami ketinggalan kereta tersebut. Jadi kami membeli
tiket kereta berikutnya yang tiba jam 10.22. Perjalanan ke Rangkasbitung
sekitar 2 jam. Tiba di sana, kami dijemput oleh saudara dari Ibu Minsar, yaitu Aida
(dia menikah dengan saudara sekampung dari Ibu Minsar). Rencana memang kami
akan bermalam di rumah orang tuanya.
Lalu, dari stasiun, kami
melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum berwarna merah menuju terminal
Aweh. Jaraknya dekat, kurang dari 10 menit. Selanjutnya, kami naik mobil
semacam Elf (bener ngga ya tulisannya?) yang menuju Ciboleger. Ciboleger adalah
pasar sekaligus letak pintu masuk Desa Kanekes, tempat masyarakat Suku Baduy
berada. Hanya saran saja, saat ingin naik mobil ini, sebaiknya tidak mencarinya
di dalam terminal, tetapi di seberang luar terminal. Sebab yang di dalam
terminal agak lama ngetemnya. Sedangkan yang di luar, meskipun lama juga
ngetemnya, tapi ada beberapa orang yang membantu mengumpulkan penumpang
sehingga mobil bisa segera berangkat.
Perjalanan dengan mobil Elf
inilah yang saya rasa cukup melelahkan dan membuat perut kekocok-kocok. Medan jalan
yang berliku-liku, naik turun bukit serta kondisi jalan beraspal yang rusak,
membuat perjalanan terasa sangaaat lama. Sekitar 1,5-2 jam. Padahal, lamanya
waktu itu hanya ditempuh hingga daerah Simpang, yaitu daerah persimpangan di
mana rumah orang tua Aida tinggal. Jarak dari Simpang ke Ciboleger terbilang
dekat, sekitar beberapa kilometer lagi. Jika ditempuh dengan sepeda motor,
memakan waktu 30-45 menit.
Kami tiba di rumah keluarga Aida
sekitar jam 2.30. Kami istirahat, solat, makan dan melanjutkan perjalanan jam 4
kurang. Kami pergi dengan dua motor. Bapak Aida membonceng Aida dan saya
membonceng Ibu Minsar. Disinilah insiden berdarah itu terjadi
#mencobamendramatisir
Jalan aspal dari Simpang menuju
Ciboleger terbilang bagus. Naik motor sambil lihat pemandangan gunung atau
bukit berjejer dan berlapis serta menghirup udara yang segeeer banget bebas
polusi, rasanya aduhaaaaiiii banget. Layaknya anak motor di kota, yang ngendarain
motor sering kenceng-kenceng, di sana saya juga ngendarain motor seperti itu.
Padahal saya belum paham medan jalan disana seperti apa. Ketika kami melewati
jalanan yang menanjak dan saat tiba di puncak tiba-tiba jalanan berubah menjadi
turunan yang mana di ujung bawah sana jalanan berubah jadi bebatuan tanpa
aspal, saya tidak punya cukup waktu untuk ngerem secara mulus dan tanpa sadar
hanya menggunakan rem tangan. Saat tiba di bebatuan itulah ban motor belakang
tergelincir dan kami jatuh ketiban motor ke arah kanan.
Saya ngga kuat ngangkat motor dan
Ibu Minsar teriak minta tolong pada Bapak Aida yang sudah ada di depan dan pada
orang-orang sekitar yang kebetulan lewat di sana. Saya hanya diam dengan posisi
tiduran sambil mencerna apa yang terjadi. Maklum, saya jarang jatuh dari motor.
Ini kali ketiga jatuh, kali pertama bonceng dosen dan kali pertama jatuh saat
bonceng dosen. Shock banget. Kaca spion pecah dan patah dari gagangnya. Darah dari
lulut dosen saya ngerembes tembus ke
gamis luarnya. Telapak tangan kanan saya kebas, berdarah dan bengkak, susah
ditekuk atau digerakkan.
Segera Bapak Aida menolong dan
memegang telapak tangan saya sembari meniup-niupkannya dan bilang, “Ini ggp,
ini gpp, nanti pulang diobatin.” Terlihat sekali bahwa beliau itu
mengkhawatirkan saya layaknya anak sendiri. Ini karena beliau melihat wajah
saya yang pucat seketika. Padahal jika beliau tahu, saat itu puncatnya saya
lantaran khawatir memikirkan motor yang saya rusakin dan luka-luka pada Ibu
Minsar akibat saya bonceng. Saya beberapa kali meminta maaf pada beliau. Dan jika
kalian tahu bagaimana reaksi beliau…
“Seru yaaa. Begini perjuangan jauh-jauh kesini buat ke Baduy, penuh cobaan.”(jawabnya sambil tertawa)
Haduuh, si Ibu. Sampai pengen
nangis denger cara beliau menghibur saya :’(
Lepas itu, kami melanjutkan
perjalanan. Akhirnya saya dibonceng Bapak Aida dan Ibu Minsar dibonceng Aida. Sepanjang
perjalanan tangan kiri saya terus memegang telapak tangan kanan yang tidak bisa
digerakkan.
Kami tiba di pasar Ciboleger. Sempat
heran saat melihat bahwa ternyata terdapat minimart disana. Sebab sepanjang
perjalanan dari Simpang hingga Ciboleger, kami tidak menemukan minimart semacam
ini, meskipun di sisi jalan terdapat rumah-rumah penduduk. Ditambah lokasi disini
yang tergolong daerah pedalaman, cukup mengherankan ada minimart dengan warna
yang cukup nyentrik di antara bangunan lainnya disini.
Kami meninggalkan motor disana
dan melanjutkannya dengan berjalan kaki. Pintu masuk ke Baduy berupa tanjakan
dan saya harus memapah Ibu Minsar yang jalannya terpincang-pincang karena jatuh
tadi. Saat tiba di pintu masuk itulah, saya takjub melihat pemandangan di depan
sana. Terdapat deretan rumah-rumah penduduk dari bambu dan tanah berupa
batu-batu kali yang tersusun rapi. Terlihat tradisional sekali dan asri. Suka.
Suka banget sama suasana ini. Ini mah saya bangeeet :D
Saat sampai disana, lupa difoto. Baru sempat saat mau pulang. Gelap deh hasilnya :D |
Disana kami bertemu dengan Kepala Desa Kanekes sekaligus sebagai salah satu dari masyarakat Baduy Luar. Namanya Dainah. Jaro Dainah. Kami juga bertemu dengan tokoh dari Baduy Luar, yaitu Bapak Saija dan Bapak Lupa Namanya. Kami menjelaskan maksud kedatangan kami dan menanyakan segala informasi yang dibutuhkan untuk referensi proposal. Karena saya dan Ibu Minsar memahami masyarakat Baduy sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat, maka sempat di awal diskusi, kami terlihat kaku dalam berbicara, khawatir jika apa yang kami sampaikan melukai perasaan mereka dan bertentangan dengan adat, sehingga kami memilah-milah kata yang tepat untuk disampaikan. Namun, karena memilah-milah itu, yang disampaikan jadi kaku dan berasa atmosfer pertemuan tersebut sangat serius dan sedikit tegang.
Hingga akhirnya pada saat Bapak
Saija menjelaskan sesuatu dan beliau menyebutkan pupuk yang digunakan disini
berasal dari “tai kotok”, saat itulah saya dan Aida tidak bisa menyembunyikan
tawa dan akhirnya tertawa terbahak-bahak. Sudah lama saya tidak mendengar atau
mengucapkan “tai kotok”. Ketika sekarang mendengar lagi, rasanya lucu, apalagi
melihat mimik muka Bapak Saija saat mengucapkannya. Bapak Lupa Namanya menyadari
apa yang kami tertawakan dan akhirnya ikut tertawa. Sedangkan Ibu Minsar dan
Bapak Saija yang tidak mengetahui apa maksudnya terlihat bingung. Ibu Minsar
berpikir bahwa “tai kotok” adalah “kotoran burung”. Saat saya jelaskan bahwa
itu adalah kotoran ayam, beliau akhirnya paham dan ikut tertawa. Demikian juga
Bapak Saija. Barulah akhirnya suasana menjadi cair :)
Tidak lama kami berada disana,
karena hari juga mulai gelap. Kami berdiskusi sekitar 2 jam dan pulang
menjelang magrib. Meski hanya sebentar, ada kepuasan dan kebahagian tersendiri
ketika akhirnya bisa melihat apa yang selama ini hanya dibaca dari
jurnal-jurnal dan buku-buku yang mengulas kehidupan mereka. Ada perasaan lega ketika
akhirnya bisa mengatakan, “Ooh, seperti ini thoo…”
Esok paginya, jam 6 pagi kami
sudah siap untuk pulang. Kami mengejar kereta pagi untuk menyelesaikan proposal
tersebut saat sudah tiba di Ciputat. Baiknya Allah itu banget-banget. Kami
masih bisa naik kerete pagi sebelum jam 8, padahal saat kami baru sampai
stasiun, kereta sudah akan berangkat dan terlihat petugas-petugas stasiun
sedang membantu penumpang naik. Allah baik banget, sebab jika kami tertinggal
kereta ini, maka kami baru bisa naik kereta berikutnya yang baru tiba pukul
11.25 >.<
Anak-anak sekolahnya hebat bener ya? Kalau di Jakarta, naik di atas atap mobil atau gelantungan di pintu, sudah kena tilang ya. Salut deh perjuangan buat sekolahnya ^^ |
Singkat cerita (lagi), alhamdulillah proposal sudah selesai dan dapat dikirim saat hari H deadline. Jujur, saat itu saya tidak lagi memikirkan dan berharap apakah proposal kami lolos diterima. Sebab, apa yang telah kami lewati untuk menyelesaikan proposal tersebut sudah menjadi pengalaman dan hikmah yang berharga bagi kami. Bahkan jika ingin benar-benar jujur, saya berharap proposal itu tidak lolos karena beberapa pertimbangan pribadi. Tentang ini, dosen saya tidak tahu :p
Ternyata, Allah berkehendak lain.
Sebaik-baiknya keinginan kita, tentu Allah lebih tahu yang terbaik atas
kebutuhan kita. Proses seleksi yang memakan waktu sekitar 1 bulan lebih
akhirnya menghasilkan pengumuman bahwa secara nasional, terdapat 14 proposal penelitian
yang lolos seleksi dari sekitar 317 proposal yang masuk. Dan proposal kami
salah satu dari ke-14 proposal tersebut!
Masya Allah. Alhamdulillah.
Allahu Akbar.
Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan, fiii?
Ini adalah penelitian pertama
saya sejak lulus kuliah Agustus tahun lalu. Ini juga adalah penelitian bersifat
intervensi dan berbasis budaya yang pertama bagi saya sejak lahir. Dan ini juga
adalah penelitian pertama bagi saya dan Ibu Minsar yang didanai langsung oleh
Kementerian Kesehatan RI. Dan ini berarti hingga Desember 2015 nanti, in syaa
Allah, kami akan sering mengunjungi masyarakat Baduy.
Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan, fiii?
Saat kamu hanya memiliki
keinginan sepintas berupa gumaman untuk bisa melihat lokasi Suku Baduy, Allah
dengan kemurahanNya mewujudkannya. Lalu kini saat kamu bahagia dan bersyukur dapat
berkunjung kesana dan merasa puas paling tidak bisa sekali seumur hidup pergi
kesana, Allah dengan kebesaranNya memberikanmu jalan untuk datang lagi
berkali-kali kesana. Maka bagaimana hatimu tidak meleleh dibuatnyaaaa? :’’’)
Alhamdulillah ya Allah. Terima
kasih. Terima kasih :*
Sekian dulu ya, lain waktu dilanjut lagi
:)
Sekian dulu ya, lain waktu dilanjut lagi
:)